Software Islam, Kumpulan Software Islam

Rabu, 28 April 2010

Ketika Nilai Luhur Keluarga Runtuh

Ketika Nilai Luhur Keluarga Runtuh

Ketika orangtua tak mampu lagi melihat makna dan nilai hakiki satu keluarga, pada akhirnya anaklah yang menjadi korban. Ia menjadi ajang pelampiasan ketidakberdayaan orangtua menghadapi impitan persoalan keluarga. Apalagi, saat anak lebih dilihat dari asas pemanfaatan atau utilitas, bukan lagi sebagai titipan Tuhan.

Sederet kisah memilukan tentang penganiayaan terhadap anak membuktikan hal itu. Dalam sejumlah kasus, kekerasan dalam rumah tangga terjadi selama bertahun-tahun. Para tetangga sekitar lokasi menjadi saksi, namun tidak berani beraksi.

Seperti dalam kasus Anggi (6), anak yang disiksa ibunya, Sumarni (42), selama beberapa tahun di suatu perumahan di Serpong, Tangerang. Baru dalam persidangan, sejumlah tetangga korban mengaku menyaksikan bagaimana Anggi disiksa, dipukul, dihantam dengan kayu, serta kakinya dirantai. Mereka juga mendengar jerit memilukan dan tangisan korban.

Namun, mereka mengaku tidak bisa berbuat apa-apa ketika si ibu menjawab itu urusan rumah tangga. Untunglah salah seorang tetangganya memberanikan diri melapor ke kepolisian setempat.

Sedangkan yang terbaru, tindakan penganiayaan yang dilakukan Sandra Medira (28) yang diduga menyiksa anak kandungnya, Azrielle Marceli (8). Penyiksaan itu dilakukan di rumah kontrakan di Pondok Gede, Bekasi. Azrielle disetrika ibundanya sesaat baru pulang kerja. Akibatnya, Azrielle menderita luka di lengan kiri, di dada kiri sampai bawah ketiak kirinya. Bukan hanya itu, gusi depannya juga membengkak akibat pukulan ibu kandungnya itu. Azrielle mengaku disetrika ibunya karena menghabiskan kue lalu pergi bermain tanpa mengajak adiknya, Baby Alista (2). Ibundanya marah, lalu tanpa pikir panjang menyetrika dada dan lengan Azrielle.

Budayawan Mudji Sutrisno yang juga terlibat dalam perumusan penanganan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menekankan, kekerasan kepada anak terjadi karena lunturnya nilai-nilai hakiki tentang kemanusiaan. Manusia tidak lagi dilihat sebagai ciptaan Tuhan dan anak sebagai titipan Tuhan. Anak lebih dilihat dari unsur kegunaan atau asas manfaat-mengganggu atau tidak, bisa dipekerjakan atau tidak, seperti yang berakhir di jalan.

Hal itu terjadi karena banyak pihak pada masa sekarang yang lebih mementingkan unsur materi dan harta benda, bukan proses kehidupan itu sendiri. Bahkan, kesuksesan dalam hidup pun kemudian lebih diukur dari sisi materi ketimbang pada keberhasilan menjalani proses dan nilai-nilai kehidupan itu sendiri.

Minim sekali orang yang hidup atas dasar nilai. Dalam artian, banyak orang yang tidak lagi memegang teguh nilai-nilai dalam satu keluarga. Orang tidak lagi menganggap fungsi dan posisi orangtua sebagai sebuah panggilan hidup.

Karena itu, banyak pula orangtua yang tidak mampu menjadikan keluarga sebagai tempat perlindungan yang aman dan tenteram bagi anak. Karena itu, ketika tidak bisa menghadapi kemiskinan yang menyiksa, anak yang menjadi korban. Mereka langsung menghukum anak, memukul, atau tindakan apa saja, tanpa mempertimbangkan trauma yang akan terjadi akibat dari hukuman itu.

Selain itu, banyak pula pihak yang melihat posisi orang tua sebagai satu kekuasaan. Dalam hal ini, anak tidak lagi dianggap sebagai titipan Tuhan karena orangtua tidak lagi menghargai proses kehidupan anak, yaitu dari janin yang dikandung selama sembilan bulan. Kondisi ini membuat orangtua merasa punya hak penuh untuk menghukum dan memberi sanksi.

Adanya persepsi salah tentang anak, yakni anak dianggap sebagai hak milik. Jadi, anak boleh dibentuk sesuai keinginan orangtua, seperti anak harus memperoleh peringkat di sekolah. Dan, ketika anak tidak menurut, hal itu menyinggung harga diri dan memicu kemarahan orangtua. Padahal, keluarga harusnya menjadi tempat anak merasa aman.

Pelaku kekerasan terhadap anak itu tidak terkait dengan tingkat pendidikan. Banyak di antara mereka yang berasal dari berbagai strata sosial. Dalam hal ini, ketidaksiapan orangtua dalam mendidik anak juga memicu tindak kekerasan terhadap anak. Banyak pasangan yang menikah, tetapi tanpa dibekali kesiapan menjadi orangtua yang juga bertugas mendidik anak tanpa unsur kekerasan.

Kekerasan itu bisa terjadi di semua strata sosial. Tetapi, di kalangan atas kekerasan yang terjadi lebih bersifat psikologis: anak dituntut berprestasi, diikutkan dalam berbagai lomba, dan jika tidak menang, akan dimarahi orangtuanya. Di kalangan masyarakat tidak mampu, kekerasan itu cenderung pada penganiayaan fisik. Dalam kasus anak yang diseterika ayah kandungnya di Jakarta Utara, misalnya, tindakan dilakukan dengan alasan malu karena anaknya suka mencuri. Jadi, motif kekerasan tidak terbatas alasan ekonomi, tetapi menyangkut pendidikan dalam keluarga.
Digg

Related Posts by Categories



Google Bookmarks reddit Mixx StumbleUpon Technorati Yahoo! Buzz DesignFloat Delicious BlinkList Furl

0 komentar: on "Ketika Nilai Luhur Keluarga Runtuh"

Posting Komentar